Sedikit tentang Indonesia Raya
Catatan LAMBERTUS HUREK
Bekas Pelatih Paduan Suara Amatir
Gara-gara Roy Suryo, lagu kebangsaan Indonesia Raya kembali jadi polemik di media massa. Sayang sekali, polemik kali ini kurang bermutu karena bahan yang disodorkan Pak Roy mentah nian. Tidak ada yang baru.
Saya justru heran kenapa orang sekaliber Roy Suryo, pakar yang bolak-balik masuk koran, bicara di televisi, baru tahu bahwa Indonesia Raya itu sejatinya ada tiga stanza. Setahu saya, semua anak sekolah dasar di Indonesia pernah membaca kisah sejarah Indonesia Raya--selalu dikaitkan dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Di situ disebutkan bahwa Indonesia Raya memang ada tiga stanza. Pada masa penjajahan, kata 'merdeka' sengaja disensor karena penjajah tentu tidak sudi dengar. Bahwa cara membawakan, ekspresi... Indonesia Raya ada perubahan, ya, kita semua tahu. Bahwa Presiden Sukarno bikin tim penggubah Indonesia Raya, pun sudah banyak ditulis.
Lalu, apa yang baru dengan isu yang diangkat Roy Suryo? Tidak ada. "Yang baru itu, ya, Roy Suryo ternyata baru tahu kalau Indonesia Raya itu ada tiga stanza. Juga beberapa kali revisi...," kata teman saya. "Nggak ada mutunya polemik versi Roy Suryo," tambah sang kawan di Surabaya.
Yah, polemik tak penting, buang-buang waktu saja. Tapi dibahas di koran-koran, televisi, internet, hanya karena yang bicara itu seorang Roy Suryo. Tak apa-apalah. Dengan polemik ini, semua orang ramai-ramai cari bahan, referensi, wawancara sumber sejarah yang tepat, agar kisah seputar Indonesia Raya menjadi lebih akurat.
Apa pun kata orang, yang jelas, status Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan sudah final dan mengikat. Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyebutkan bahwa lagu kebangsaan kita Indonesia Raya.
Saat saya masih remaja bau kencur, tahun 1990-an, polemik seputar Indonesia Raya sudah muncul di surat kabar. Isu yang diangkat waktu itu, antara lain oleh Remy Silado, adalah 'kemiripan' alur melodi Indonesia Raya dengan lagu rakyat Eropa, kalau tak salah 'Leka-Leka'. Remy, wartawan kawakan, penulis ulung, musikolog, munsy, mengupas habis struktur lagu Indonesia Raya.
Polemik ini benar-benar menambah pengetahuan masyarakat seputar Indonesia Raya. Sebab, tulisan Remy Silado lantas diikuti tulisan penulis lain yang sama-sama pakar dan mengandalkan bahan dan referensi bermutu. Apa yang ditulis Remy dan beberapa musikolog, waktu itu, benar-benar informasi baru. Segar. Masyarakat pun senang mengikutinya.
Lha, kalau polemik menjelang 17 Agustus 2007 ini diangkat KRMT Roy Suryo yang bukan pakar musik. Referensi musiknya minim sehingga bisa dengan mudah disanggah para sesepuh macam Pak Des Alwi. "Tidak ada yang baru dalam temuan Roy. Sebab, dokumen aslinya masih saya simpan," kata Pak Des Alwi.
Pak Urip Sudarman, keponakan W.R. Supatman, Jalan Dharmahusada Indah V Blok F/204 Surabaya, terkejut dengan klaim Roy Suryo. Pak Urip ini sejak dulu jadi referensi para wartawan di Surabaya kalau bicara soal Indonesia Raya dan W.R. Supratman. Pada saat makam W.R. Supratman direnovasi, juga Museum W.R. Supratman di Jalan Mangga 21 Surabaya diresmikan, saya pun pernah membuat tulisan bersambung tentang Indonesia Raya dan W.R. Supratman.
Inti tulisan, sejak dulu sampai sekarang, ya, sama saja. Bagaimana tidak. Sumbernya sama, data-data sama, semua sama. Jadi, membaca tulisan panjang lebar di koran-koran Surabaya, merespons isu Roy Suryo, saya hanya ketawa-ketawa saja karena tidak ada yang baru. Teman-teman wartawan, ya, kembali menemui sumber-sumber saya yang dulu.
"Kalau kita mau jujur, sejak dulu memang tidak ada yang baru dalam pemberitaan. Apa yang kita tulis hari ini sebetulnya pernah ditulis wartawan-wartawan dulu. Bedanya, ya, tipis-tipis saja dan akan selalu berulang," kata Adi Sucipto, kawan wartawan KOMPAS di Surabaya.
Meski direvisi beberapa kali, inti lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman itu masih sama saja. Menggunakan tempo marcia alias kecepatan menyanyi sama dengan orang berbaris. Sebagai bekas pelatih paduan suara, saya tahu sedikit banyak tahulah istilah-istilah musik vokal dan bagaimana harus menerapkannya saat menyanyi.
Indonesia Raya itu bertempo cepat, mars. Metronom Malzel [M.M.] untuk lagu mars bertempo cepat ini berkisar 120 hingga 169. Maksudnya: dalam satu menit ada 144-169 ketukan. Karena itu, betul kata Roy Suryo, lagu dinyanyikan dengan heroik, cepat, penuh semangat.
Con bravura! Ini tanda ekspresi [bukan tempo] bahwa lagu itu dibawakan dengan semangat menggelora. Salah kalau Roy menyebut 'con bravura' sebagai jenis tempo. Temponya, ya, tetap mars atawa 'tempo di marcia'.
Nah, setelah direvisi oleh tim bentukan Bung Karno, tempo Indonesia Raya diturunkan menjadi sekitar M.M. 120. Aransemen garapan Jozef Cleber, komponis dan dirigen orkes simfoni terkenal di Jakarta pada awal kemerdekaan, menjadikan Indonesia Raya lebih gagah dan megah. Elegan! Lagu tetap semangat, tapi tidak tergesa-gesa macam aransemen versi era Jepang dulu.
Ada bagian yang dibuat maestoso [hormat, megah] pada :
hiduplah tanahku,
hiduplah negeriku,
bangsaku rakyat semuanya
bangunlah jiwanya
bangunlah badannya
untuk Indonesia Raya
Bagian ini dibawakan lebih lirih, volume diturunkan, dan mengalir alias legato. Nada-nada dirangkaikan, sehingga terasa bak alunan gelombang. Kalau anda pernah ikut kursus atau pelatihan dirigen/konduktor paduan suara, tentu apa yang saya gambarkan di sini sangat mudah dipahami.
Kontras kemudian terjadi di refrein atawa ulangan atawa chorus. Di sini dipakai fortessimo [ff]. Volume suara atau alat musik sangat keras. Efek menggelegar sangat terasa karena Jos Cleber menyertakan timpani di bagian ini.
Indonesia Raya! Merdeka! Merdeka!
Tanahku negeriku, yang kuncinta
Indonesia Raya! Merdeka! Merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya
Addie M.S. bersama orkestranya, Twilite Orchestra, saya nilai sangat berhasil menampilkan aransemen Indonesia Raya yang sangat hidup sesuai dengan keinginan Bung Karno. Lihat saja ketika tim nasional Indonesia tampil di Piala Asia, Jakarta, beberapa pekan lalu. Semua pemain dan penonton [juga penonton televisi di rumah] bisa merasakan kegagahan lagu Indonesia Raya hasil gubahan Jos Cleber.
Aransemen sama, lagu sama, tapi di tangan Addie M.S. dan Twilite Orchestra berasa lain. Beda sekali dengan rekaman lama yang dimainkan orkes lain.
Indonesia Raya memang lagu kebangsaan yang lahir dari perut sejarah perjuangan Indonesia. Karakternya memperlihatkan bahwa nyanyian kebangsaan itu benar-benar lagu perjuangan. Heroik. Berapi-api. Tekad baja untuk merdeka. Bukan himne sentimental memuji raja atau ratu tertentu.
Itulah yang membedakan Indonesia Raya dengan lagu kebangsaan di beberapa negara Eropa macam Inggris, Belanda, Jerman, Malaysia. Kebetulan saya sangat menguasai melodi lagu kebangsaan dari empat negara ini. Lagu kebangsaan Malaysia malah mengadopsi 'Terang Bulan Terangnya di Kali' yang sangat populer di Indonesia. Diganti syairnya, jadilah lagu kebangsaan Malaysia.
Lantas, apa kelemahan Indonesia Raya?
1. Rentang nada (ambitus atau range) sangat lebar.
Ditulis pakai nada dasar G [satu #], nada terendah A [la rendah], nada tertinggi e [mi tinggi]. Bandingkan saja dengan God Save the Queen [Inggris] yang ambitusnya sedikit, temponya moderato, sehingga gampang dinyanyikan suporter bola di Inggris kapan saja.
Saat memimpin paduan suara pelajar, mahasiswa, atau umum, saya selalu merasakan bahwa tidak semua penyanyi bisa membidik nada dengan tepat. Di bagian awal, sopran dan tenor sulit menjangkau nada rendah. Di bagian refrein, giliran bas dan alto yang pusing menghadapi nada tinggi. Asal tahu saja, rata-rata orang Indonesia bersuara sedang alias bariton [laki-laki] dan meso-sopran [perempuan].
Repotnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958, Indonesia Raya hanya boleh dinyanyikan secara unisono alias satu suara. Tidak boleh bikin aransemen vokal empat suara, tiga suara, dua suara, dan sebagainya. Ini aturan yang wajib kita ikuti.
Karena terlalu tinggi di refrein, dan terlalu rendah di insetting [nada awal], maka hampir semua orang Indonesia kesulitan mengambil nada untuk nyanyian a capella [tanpa musik]. Bisa saya pastikan, nada dasarnya pasti jauh di bawah G mayor. Nah, karena nadanya sangat rendah, ya, Indonesia Raya tidak bisa dinyanyikan.
Ada juga kasus di mana dirigen tertentu 'ambil suara' terlalu tinggi. Siapa yang bisa menyanyikan dengan baik? Hanya paduan suara dengan dirigen terlatih. Sekali lagi, Indonesia Raya punya tingkat kesulitan tinggi.
2. Terlalu panjang.
Dibandingkan lagu kebangsaan negara-negara lain, Indonesia Raya ini panjang banget. Makan waktu lama. Padahal, kita hanya menyanyikan satu stanza. Apa jadinya jika semua [tiga] stanza itu dinyanyikan? Karena panjang sekali, Indonesia Raya kerap 'disunat' di event-event olahraga Asia Tenggara, Asia, atau Olimpiade.
Ketika Susi Susanti dan Alan Budikusumah meraih emas Olimpiade, Indonesia Raya tidak ditampilkan utuh. Begitu juga saat Taufik Hidayat memenangkan emas olimpiade. Panitia setempat rata-rata mengeluh karena lagu yang panjang hanya makan waktu saja. Lagu kebangsaan Tiongkok, Zhungguo Guoge, durasinya hanya 27 detik ketika dimainkan oleh Japan Philharmonic Orchestra.
3. Tidak bisa dinyanyikan dengan santai.
Ini terkait struktur melodi, irama, tempo.. dan karakternya. Bandingkan dengan Inggris yang lagu kebangsaannya sangat santai, meski maestoso, dinyanyikan setiap saat di stadion bola atau di mana saja.
Atau, lagu kebangsaan Amerika Serikat yang bisa dibawakan dalam berbagai gaya. Perhatikan siaran langsung tinju yang melibatkan petinju USA. Hampir pasti lagu kebangsaan dibawakan ala soul, black music, pop, dan sebagainya. Sangat tidak resmi! Indonesia Raya tidak bisa begitu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar